Tradisi Mudik Berubah: Sungkeman Memudar, Flexing Menguat

Tradisi Mudik Berubah: Sungkeman Memudar, Flexing Menguat

jewishwny.com – Sungkeman memudar hal yang sudah perlahan-lahan terlihat di era yang sudah serba digital. Tradisi pada saat lebaran yang kian hilang di Indonesia yang telah mengalami banyak perubahan. Prof Dr Sofyan Sjaf, pakar Sosiologi Pedesaan dari IPB University, menjelaskan bahwa perubahan ini terjadi karena berbagai faktor sosial, ekonomi, dan teknologi.

“Baca juga : DPR Ingatkan Prabowo Soal Rencana Tampung Warga Gaza”

Dulu, masyarakat melihat mudik sebagai kegiatan sakral yang penuh nilai kekeluargaan dan budaya. Orang-orang rela menempuh perjalanan panjang untuk bertemu keluarga. Mereka ingin merayakan Lebaran bersama orang tua dan saudara. Kini, motivasi itu mulai berubah.

Masyarakat modern lebih fleksibel dalam merayakan Lebaran. Banyak keluarga memilih berkumpul di tempat lain seperti tanah suci atau kota perantauan. Beberapa orang tua justru datang ke kota menemui anak-anak mereka. Kemudahan transportasi dan pilihan moda yang beragam juga mendorong perubahan pola mudik.

Saat ini, banyak orang menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik. Fenomena ini membuat jalur mudik semakin padat. Dulu, masyarakat lebih sering menggunakan kendaraan umum seperti bus atau kereta api. Kini, mobil pribadi menjadi pilihan utama karena lebih praktis dan fleksibel.

Prof Sofyan juga menyoroti pergeseran nilai sosial dalam budaya mudik. Sebelumnya, mudik identik dengan silaturahmi dan nilai kebersamaan. Sekarang, banyak orang menggunakan mudik untuk menunjukkan keberhasilan mereka. Mereka mengunggah foto di media sosial dan memamerkan gaya hidup. Hal ini mencerminkan meningkatnya budaya pamer atau flexing.

Individualisme

Menurut Prof Sofyan, masyarakat lebih fokus pada pencapaian pribadi dibanding menjaga nilai tradisional. Dahulu, orang-orang datang ke rumah sanak saudara untuk bersilaturahmi. Sekarang, mereka lebih suka berkumpul di tempat wisata atau lokasi tertentu untuk halal bihalal. Budaya sungkeman juga mulai ditinggalkan. Banyak orang memilih menyapa lewat pesan digital atau panggilan video.

Meski nilai budaya mulai bergeser, mudik tetap membawa dampak positif bagi desa. Kedatangan pemudik meningkatkan perputaran uang dan daya beli di daerah. Para pedagang, pelaku UMKM, dan penyedia jasa merasakan keuntungan besar selama musim mudik. Ini menjadi peluang ekonomi yang penting.

Namun, Prof Sofyan mengingatkan bahwa migrasi dari desa ke kota masih menjadi tantangan. Banyak warga desa tetap menganggap kota sebagai pusat kehidupan. Pemerintah harus membangun desa secara sistematis. Negara perlu mengembangkan potensi desa agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan.

“Baca juga : Liga Champions: Barcelona Kalahkan Dortmund 4-0, PSG Bangkit”

Prof Sofyan mengajak semua pihak untuk menjaga makna sejati mudik. Ia mendorong masyarakat untuk tidak melupakan nilai kekeluargaan dan kebersamaan. Pemerintah juga harus memastikan pembangunan desa berjalan adil dan merata.